LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP MEDIS
A. Anatomi Fisiologi Nasofaring
Faring dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul Ke arah posterior dan dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sphenoid.
sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata.
Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Sepertiga bagian atas atau nasofaring adalah bagian pernapasan dari faring dan tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian bawah. Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa srtuktur yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu :
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faringeal lateral dan pada resesus faringeus, yang dikenal dengan Fossa Rosenmuller
3. Torus tubarrius, refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago saluran tuba eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai benjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat di atas perlekatan palatum mole.
4. Koana posterisor rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari pnyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glosofaringeus, vagus dan assesoris spinalis.
6. Struktur pembuluh daraha yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri faringeal asenden dan foramen hipoglosus yang dilalui saraf hipoglosus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap nasofaring
8. Ostium dari sinus-sinus sphenoid.
B. DEFINISI
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi jaringan limfoit, dengan predileksi di Fosa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi skuamosa dan atap nasofaring. Tumor primer dapat mengecil, akan tetapi telah menimbulkan metastasis pada kelenjar limfe
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian besar klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas di daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian di ikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan 5 besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.
C. ETIOLOGI
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001).
Kaitan Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan Ca Nasofaring. Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Terjadinya Ca Nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah:
2. Kerentanan Genetik
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA ( Human luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan, sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.
3. Virus EB (Eipstein-Barr)
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen dini ( EA), antigen nuklir ( EBNA ) , dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , alasannya adalah :
Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB (termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor. Selain itu titer antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA.
Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga banyak. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.
Ada beberapa mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah:
a) Zat Nitrosamin.
Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan atau makanan yang diawetkan di Greenland juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di Tunisia, dan sayuran yang difermentasi (asinan) serta taoco di Cina.
b) Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.
c) Kontak dengan zat karsinogenik.
Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat karsinogen yaitu zat yang dapat menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan-tumbuhan.
d) Ras dan keturunan.
Kejadian KNF lebih tinggi ditemukan pada keturunan Mongoloid dibandingkan ras lainnya.Di Asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan.Ras Melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena.
e) Radang Kronis di daerah nasofaring.
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.
f) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
1) Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring , kandungan 3,4 benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
2) Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya kanker nasofaring.
3) Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.
D. PATOFISIOLOGI
Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring. Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana (2006) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring. Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing.
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher.
5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller
E. MANIFESTASI KLINIS.
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf serta gejala metastase atau gejala di leher.
1. Gejala telinga
a) Rasa penuh pada telinga.
b) Tinitus.
c) Gangguan pendengaran.
d) Gejala telinga
Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula dofosa Rosen Muler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba ( berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran) Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran.
2. Gejala nasofaring
a) Epistaksis: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.
b) Hidung tersumbat. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman.
3. Gejala mata dan saraf
a) Diplopia
b) Gerakan bola mata terbatas
4. Gejala lanjut
a) Limfadenopati servikal
b) Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
c) Gejala akibat metastase jauh.
Kecurigaan sedang adalah:
d) Usia < 20 tahun atau > 60 tahun.
e) Riwayat radiasi leher.
f) Jenis kelamin pria dengan nodul soliter.
g) Tidak jelas adanya fiksasi daerah sekitar.
h) Diameter lebih besar dari 4 cm dan kistik.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah:
1) Mukositis : Mukositis oral merupakan inflamasi pada mukosa mulut berupa eritema dan adanya ulser yang biasanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi kanker. Biasanya pasien mengeluhkan rasa sakit pada mulutnya dan dapat mempengaruhi nutrisi serta kualitas hidup pasien.
2) Kandidiasis : Pasien radioterapi sangat mudah terjadi infeksi opurtunistik berupa kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur yaitu Candida albicans. Infeksi kandida ditemukan sebanyak 17-29% pada pasien yang menerima radioterapi.
3) Dysgeusia adalah respon awal berupa hilangnya rasa pengecapan, dimana salah satunya dapat disebabkan oleh terapi radiasi.
4) Xerostomia : Xerostomia atau mulut kering dikeluhkan sebanyak 80% pasien yang menerima radioterapi. Xerostomia juga dikeluhkan sampai radioterapi telah selesai dengan rata-rata 251 hari setelah radioterapi. Bahkan tetap dikeluhkan setelah 12-18 bulan setelah radioterapi tergantung pada dosis yang diterima kelenjar saliva dan volume jaringan kelenjar yang menerima radiasi.
Komplikasi kronis adalah:
1) Karies gigi : Karies gigi dapat terjadi pada pasien yang menerima radioterapi. Karies gigi akibat paparan radiasi atau yang sering disebut dengan karies radiasi adalah bentuk yang paling destruktif dari karies gigi, dimana mempunyai onset dan progresi yang cepat. Karies gigi biasanya terbentuk dan berkembang pada 3-6 bulan setelah terapi radiasi dan mengalami kerusakan yang lengkap pada semua gigi pada periode 3-5 tahun.
2) Osteoradionekrosis : Osteoradionekrosis (ORN) merupakan efek kronis yang penting pada radioterapi. Osteoradionekrosis adalah nekrose iskemik tulang yang disebabkan oleh radiasi yang menyebabkan rasa sakit karena kehilangan banyak struktur tulang.
3) Nekrose pada jaringan lunak : Komplikasi oral kronis lain yang dapat terjadi adalah nekrose pada jaringan lunak, dimana 95% kasus dari osteoradionekrosis berhubungan dengan nekrose pada jaringan lunak. Nekrose jaringan lunak didefinisikan sebagai ulser yang terdapat pada jaringan yang terradiasi, tanpa adanya proses keganasan (maligna). Evaluasi secara teratur penting dilakukan sampai nekrose berkurang, karena tidak ada kemungkinan terjadinya kekambuhan. Timbulnya nekrose pada jaringan lunak ini berhubungan dengan dosis, waktu, dan volume kelenjar yang terradiasi.
4) Reaksi akut terjadi selama terapi dan biasanya bersifat reversibel, sedangkan reaksi yang bersifat kronis biasanya terjadi menahun dan bersifat irreversibel.
5) Gagal napas dapat terjadi karena adanya metastase dari tumor nasofaring sampai pada trakea sehingga terjadi sumbatan total pada trakea, transportasi oksigen menjadi terhambat, jika hal ini terus dibiarkan maka dapat mengakibatkan gagal napas.
6) Peningkatan tekanan intrakranial, dapat terjadi ketika metastase tomor sudah mencapai lapisan otak, dan menekan/menyesak duramater otak sehingga merangsang peningkatan tekanan intra kranial..
G. PENATALAKSANAAN
1. Radioterapi : Sebelumnya persiapan pasien dengan oral hygiene, dan apabila infeksi/kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu. Dosis yang diberikan 200 rad/hari sampai 6000-6600 rad untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad. Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi efektif sebesar 4000 rad. Ini dapat diberikan pada keadaan kambuh atau pada metastasis tulang yang belum menimbulkan keadaan fraktur patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi, dan mengurangi rasa nyeri.
2. Kemoterapi : Sebagai terapi tambahan dan diberikan pada stadium lanjut. Biasanya dapat digabungkan dengan radiasi dengan urutan kemoterapi-radiasi-kemoterapi. Kemoterapi yang dipakai yaitu Methotrexate (50 mg IV hari 1 dan 8); Vincristin (2 mg IV hari1); Platamin (100 mg IV hari 1); Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari 1 s/d 10); Bleomycin (15 mg IV hari 8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol terhadap efek samping fingsi hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.
3. Operasi : Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Nasofaringoskopi
a. Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter.
b. Biopsi multiple.
c. Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone scantigraphy (bila dicurigai metastase tulang).
d. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi tergantung dari saraf yang dikenai.
2. Dapat dilakukan pemeriksaan diantaranya yaitu :
a. Foto tengkorak, yaitu foto bagian/ potongan anteriposterior, lateral, dan waters menunjukkan massa jaringan lunak didaerah nasofaring
b. Foto dasar tengkorak dapat terlihat destruksi atau erosi tulang didaerah fosa serebri media.
c. CT scan daerah kepala dan leher terlihat adanya massa dengan terlihat adanya kesuraman. CT scan dengan kontras menunjukkan massa yang besar mengisi sisi posterior dari rongga hidung dan nasofaring dengan perluasan ke sisi kiri dalam daerah nasofaring.
d. Biopsi dari hidung dan mulut. Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/ daerah yang dicurigai. Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan kanan), melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan bantuan cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu Biopsi dapat diulang sampai tiga kali. Bila tiga kali Biopsi hasil negatif, sedang secara klinis mencurigakan dengan karsinoma nasofaring, biopsi dapat diulang dengan anestesi umum. Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila klien trismus atau keadaan umum kurang baik. Biopsi kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan bila terjadi keraguan apakah kelenjar tersebut suatu metastasis.
e. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk melihat/mendeteksi metastasis.
KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas dan istirahat
Gejala :
Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan dengan efek proses penyakit. kelemahan dan/atau keletihan, perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misal nyeri, ansietas, berkeringat malam.
2. Sirkulasi
Tanda :
Takikardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan nyeri). Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K). Tekanan darah hipotensi, termasuk postural. Kulit/membran mukosa : turgor buruk, kering, bibir pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
3. Integritas ego
a. Gejala :
Ansietas, ketakutan misalnya : perasaan tak berdaya/tak ada harapan. Faktor stress akut/kronis misalnya: hubungan dengan keluarga dan pekerjan, pengobatan yang mahal.
b. Tanda :
Menolak, perhatian menyempit, depresi.
4. Neurosensori
a. Gejala :
gangguan pendengaran dan penghidu, adanya pusing, sinkope
5. Pernapasan:
a. Gejala:
Pada pemeriksaan penunjang dapat terlihat adanya sumbatan seperti massa.
6. Makanan dan cairan
a. Gejala :
Penurunan lemak, tonus otot dan turgor kulit buruk. Membran mukosa bibir pucat; luka, inflamasi rongga mulut.
b. Tanda :
Penurunan berat badan, tidak toleran terhadap diit/sensitive; buah segar/sayur, produk susu, makanan berlemak.
7. Hygiene
a. Tanda :
Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri. Stomatitis menunjukan kekurangan vitamin. Bau badan.
8. Nyeri dan kenyamanan
a. Gejala ;
Nyeri/nyeri tekan pada perawatan ganti verban (mungkin hilang dengan defekasi), titik nyeri berpindah, nyeri tekan (atritis). nyeri terjadi pada bagian nasofaring, terasa panas.
b. Tanda :
Nyeri tekan pada bagian leher tiroid
9. Keamanan
a. Gejala ;
Peningkatan suhu 39-40°Celcius (eksaserbasi akut). Penglihatan kabur, alergi terhadap makanan/produk susu (mengeluarkan histamine kedalam usus dan mempunyai efek inflamasi).
b. Tanda :
Lesi kulit mungkin ada misalnya : eritema nodusum (meningkat, nyeri tekan, kemerahan dan membengkak) pada tangan, muka; pioderma ganggrenosa (lesi tekan purulen/lepuh dengan batas keunguan) pada paha, kaki dan mata kaki.
10. Seksualitas
a. Gejala :
Frekuensi menurun/menghindari aktivitas seksual.
11. Interaksi social
Gejala : Masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi. Ketidak mampuan aktif dalam sosial.
12. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : Pada bagian leher terdapat benjolan, terlihat pada benjolan warna kulit mengkilat.
b. Palpasi : Pasien saat dipalpasi adanya massa yang besar, selain itu terasa nyeri apabila ditekan.
Pemeriksaan THT:
a) Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
b) Rinoskopia anterior : Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak sekret.
Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negative.
c) Rinoskopia posterior :
Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat.
Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
d) Faringoskopi dan laringoskopi : Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring; reflek muntah dapat menghilang.
X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan CA. Nasofaring :
a. Nyeri kronis berhubungan dengan pembengkakan jaringan oleh karsinoma nasofaring.
b. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan respon kecemasan klien.
c. Ansietas atau kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan, ancaman kematian.
d. kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi atau kurang informasi, ketidak familiernya sumber informasi mengenai penyakit karsinoma nasofaring.
PERENCANAAN/INTERVENSI
1. Nyeri kronis berhubungan dengan pembengkakan jaringan oleh karsinoma nasofaring.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Hasil : wajah klien tidak meringis lagi
Skala nyeri 2(0-10)
Intervensi
1) Kaji keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas.
2) Pantau tanda-tanda vital.
3) Ajarkan pada pasien teknik nafas dalam
4) Berikan tindakan kenyamanan misalnya masase
5) Penatalaksanaan pemberian obat analgetik.
Rasional.
1) Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan.meningkatnya nyeri secara bertahap pasca operasi,menunjukkan melambatnya penyembuhan.
2) Peningkatan TTV menandakan adanya peningkatan skala nyeri
3) Meningkatkan relaksasi kenyamanan dan menurunkan nyeri.
4) Menurunkan ketegangan otot sehingga nyeri berkurang.
5) Memblokir rangsangan lmpuls nyeri ke otak sehingga nyeri tidak dipersepsikan.
2. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan respon kecemasan
Tujuan : klien dapat tidur pulas dengan baik
Hasil : 7 – 8 jam tidur perhari
Intervensi:
1) Kaji pola tidur klien
2) Beri posisi tidur yang nyaman pada klien.
3) Batasi jumlah pengunjung pada jam istirahat.
4) Anjurkan pada keluarga klien untuk menciptakan suasana tenang dan nyaman terutama bila klien sedang tidur.
Rasional:
1) Mengetahui apakah kebutuhan istirahat tidur klien terpenuhi
2) Untuk memberikan rasa nyaman pada klien saat tidur.
3) Memberikan kesempatan bagi klien dan pasien lain untuk beristirahat.
4) Mengurangi rangsangan yang mengganggu tidur klien.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Tujuan : rasa cemas klien berkurang atau hilang
Intervensi :
1) Kaji rasa Cemas yang mampu mempengaruhi kesehatan klien.
2) observasi vital sign.
3) Ajarkan pada pasien teknik relaksasi.
4) Berikan tindakan kenyamanan misalnya masase
5) Kolaborasi tim medis pemberian edukasi kesehatan pada pasien
Rasional :
1) Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan.meningkatnya kecemasan pasien secara bertahap pasca operasi,menunjukkan melambatnya penyembuhan.
2) Peningkatan TTV menandakan adanya peningkatan skala cemas
3) Meningkatkan relaksasi kenyamanan dan menurunkan nyeri.
4) Menurunkan beban atropi otot.
5) Memblokir rangsangan lmpuls nyeri ke otak sehingga cemas tidak dipersepsikan mampu berkurang.
4. kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi atau kurang informasi, ketidak familiernya sumber informasi mengenai penyakit carcinoma nasofaring.
Tujuan : klien mampu mengetahui tentang penyakit atau kondisi yang dialaminya
Hasil: pemgetahuan dan informasi tentang penyakit klien dapat bertambah
Intervensi :
1) kaji tingkat pengetahuan pasien saat ini dan pemahaman terhadap materi.
2) Beri penjelasan pada klien tentang kondisi yang dialaminya
3) Berikan health education bagi klien dan keluarga.
Rasional:
1) Untuk menunjukkan respon klien terhadap pengetahuan tentang penyakitnya.
2) Agar klien memahami informasi penyakit yang dialami klien.
3) Klien dan keluarga mampu mengetahui hal apa yang mampu merangsang penyakit klien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar